Pria-Pria dan Peri Cantik

Labels:


Kemanakah perginya bayangan putih itu? Sial! Cepat sekali bayangan itu menghilang. Larinya secepat kilat menembus kegelapan hutan. Walaupun malam ini bukan bulan purnama dan bintang pun enggan memperlihatkan bintik cahayanya, biasanya bayangan tikus kecil pun tidak akan mampu lepas dari mataku. Bayangan putih itu, apakah itu yang di sebut dengan setan? Sudah banyak yang mengaku pernah mendapat penampakan hal-hal aneh pada malam hari, namun seumur-umur belum pernah aku melihat setan, genderuwo, pocong ... ahh.. hal semacam itulah. Saat ini aku berdiri di pinggir hutan yang terletak sekitar 3 kilometer di sebelah utara kampungku, tempat sepi yang mungkin sangat menakutkan bagi orang lain, tapi tidak untuku. Kemarin temanku Parjo mengaku mengalami hal aneh di tempat ini. Ada sesuatu yang membuatnya sangat ketakutan. Setahuku dia memang penakut, tapi besar juga nyalinya berani datang kemari. Begitu sangat ketakutannya, dia berlari pontang-panting seperti di kejar anjing gila, sampai-sampai seluruh kayu bakar yang telah dikumpulkanya tertinggal di tempat seram ini. Anehnya si Parjo pulang tanpa pakaian. Katanya, kaos dan celananya dirampas makhluk gaib penunggu tempat ini. Inilah yang membuatku sangat penasaran. Mungkin benar, mungkin Parjo melihat bayangan putih seperti yang aku lihat tadi.
Memang seram hutan ini, tempat ini membusuk dan mati hingga serangga pun enggan mengeluarkan bunyi, sangat sunyi senyap. Tempat ini seperti neraka. Bau busuk menyengat hidungku kuat sekali. Bau ini berasal dari tumbuhan mirip, mungkin sejenis dengan bunga bangkai, “turok wewe” orang desa biasa menyebutnya. Baunya seperti bau bangkai manusia yang sudah dikerumuni belatung-belatung pemakan mayat.
Di depanku ada sebuah pohon beringin, besar sekali. Ku arahkan lampu senter di sekitar tempat itu, di bawah pohon beringin itu, aa.. itu dia kayu bakarnya Parjo, berada di sela-sela akar pohon beringin, pakaianya juga. Aku heran, mengapa pakaian Parjo tertata rapi di atas akar pohon beringin ini? Apakah setan juga bisa melipat pakaian? Mungkin. Kata para orang tua dulu banyak terdapat pohon besar di sini, ada puluhan pohon beringin seperti ini. Sekarang tinggal satu yang masih tersisa. Waktu aku masih kecil butuh sekitar empat orang dewasa untuk memeluk batang pohon beringin yang satu ini, mungkin sekarang delapan orang dewasa pun masih kurang. Ribuan daun keringnya berserakan menutupi tanah sekitar, dahannya besar-besar dan kuat dengan akar-akar gantungnya yang terlihat kokoh menghunjam masuk ke dalam tanah. Pernah orang-orang desa berencana untuk menebang pohon ini, namun saat akan ditebang hal aneh terjadi. Tiga buah gergaji mesin yang telah disiapkan tiba-tiba macet tanpa sebab. Setelah diperiksa ternyata tidak ada yang rusak. Kata orang pintar di desa kami pohon ini ada penunggunya, dan dia tidak ingin diganggu. Setelah kejadian itu penduduk desa membiarkan pohon beringin ini tumbuh besar. Tempat ini pun jarang didatangi warga.
Aku masuk lebih ke dalam menembus akar-akar pohon ini, menembus semak-semak raksasa yang tidak pernah terjamah. Tiba tiba langkahku terhenti saat telingaku sayup-sayup mendengar sesuatu. Suara apa itu? Ku ikuti arah suara itu. Semakin ku mendekat semakin jelas suara itu. Itu adalah suara isak tangis seorang perempuan. Ada yang sedang menangis. Sampailah aku di belakang semak-semak, dari sini terlihat sebuah pohon Gayam besar yang menakutkan. Ku sibak semak-semak yang menutupi pandanganku. Ahh.. ha ternyata suara itu berasal dari tempat itu, dari bawah pohon Gayam itu. Samar-samar kulihat sosok berbaju putih sedang duduk. Aku berjalan mendekati sosok putih itu. Dia melihatku!
“Pergi kau, jangan mendekat!!” dia berteriak sambil menggeser tubuhnya mendekat ke batang pohon gayam itu.
“Hey siapa kau, manusiakah, setan atau kuntil anak? Kamukah bayangan putih yang berlari secepat kilat tadi?” ku beranikan diri untuk bertanya kepadanya. Aku berjalan mendekatinya. Oh ... ternyata dia sangat cantik sekali, tapi aku ragu kalau gadis ini manusia.
“Apa maumu membuntutiku? Mau apa kau manusia? Saya sudah kau hancurkan kemarin. Belum puaskah kau wahai manusia, menghancurkan kami, menodaiku....?” tersirat kemarahan sekaligus ketakutan dari raut mukanya.
“Bicara apa kau, apa yang telah aku lakukan padamu? Satu kali pun aku belum pernah ketemu dengan mu!” jawabku.
“Kalian manusia sama saja! Tidak ada yang baik! Manusia tidak lebih dari setan-setan munafik! Busuk!”
“Apa kau panggil aku manusia? Jadi benar kamu bukan manusia. Aku beritahu ya, tidak semua manusia jahat seperti setan. Saya datang dengan baik-baik, tidak berniat mengganggu siapapun di tempat ini.”
“Kemarin ada seorang manusia yang datang kemari, saat itu aku sedang tidur terlentang di bawah pohon beringin itu. Waktu aku tidak sadar, orang itu sudah mengambil kesucianku!!”
Heran aku, dari kemarin cuma Parjo yang datang kemari. Apakah dia yang melakukan ini? Tapi kayaknya tidak mungkin mengingat sifat Parjo yang penakut dan pemalu. Tapi mungkin saja benar. Hati dan pikiran manusia hanya Tuhan yang tahu...
“Apakah orang itu yang kemarin mencari kayu bakar dan meninggalkan pakaianya di bawah pohon beringin itu?”
“Dialah jahanam itu! Sewaktu aku tersadar dia telah berada di atas tubuhku, menelanjangiku. Aku berontak, aku terbang naik ke atas pohon. Saat dia mengetahui bahwa aku bukan manusia dia langsung lari terbirit-birit. Ku kejar orang itu, namun kekuatanku sudah habis. Aku terjatuh tidak berdaya.”
Dasar Parjo, kurang ajar sekali dia mecemarkan nama baik umat manusia. Paling tidak dia bertanggung jawab, ee... malah dia lari.
“Saya benar-benar minta maaf atas perbuatan bejat temanku. Saya akan menolongmu. Apa yang dapat saya perbuat untuk menolongmu?”
“Menolongku? Begitu baikah kamu? Setahuku manusia itu munafik, mulutnya mengeluarkan kata-kata manis yang membahagiakan, namun pada akhirnya selalu ada niat buruk di balik kebaikanya, hatinya busuk. Tahukah engkau manusia? Berpuluh tahun yang lalu tempat ini adalah tempat yang sangat indah sewaktu pohon pohon besar masih berdiri kokoh, burung-burung beterbangan dengan gembira, kabut-kabut putih masih mau turun membasahi tanah. Hutan ini dahulu adalah sebuah desa peri yang damai. Tapi sayang.... kalian datang merusak dan membunuh! Kalian menebangi rumah-rumah kami. Bangsaku mati perlahan-lahan. Saudara-saudaraku menghilang satu-persatu, mereka mati karena tidak punya energi untuk diserap. Tidak ada yang mampu menolong kami. Hutan ini sudah sekarat, energinya sudah habis karena kalian hancurkan. Sekarang tinggal aku sendiri disini, bagaimana kamu akan menolongku. Apakah kamu mampu membalikan keadaan seperti berpuluh tahun yang lalu?”
Peri cantik itu menangis terisak-isak membuatku terpaku, tidak mampu berkata apa-apa. Tapi bukan tangis dan ceritanya yang membuat mulutku terpaku .... Ku pandangi dia, sungguh sangat cantik sekali. Pantas saja Parjo tergiur untuk menjamah tubuhnya. Kulitnya putih kekuningan, tidak pucat, halus sekali. Rambutnya hitam lebat tergerai berkilauan memantulkan cahaya langit. Dia memiliki sepasang mata yang indah juga hidungnya, bibirnya mungil, dipadu dengan bentuk mukanya yang mirip buah mangga. Tubuhnya sangat mengundang gairah, dia diciptakan untuk menjadi sempurna. Kalau dia manusia pasti sudah saya ambil istri, tapi walaupun bukan manusia...
Memangnya apa yang bisa ku lakukan, ruang hidup untuk pohon-pohon besar di sini semakin sempit. Hanya inilah yang tersisa, semak-semak raksasa dan beberapa pohon besar. Bagaimana aku bisa menolongnya? Toh, menurut kabar angin sebentar lagi pemerintah akan membuat jalan raya antar kota yang melintasi hutan ini. Pastilah hutan ini hancur, tinggal cerita. Begitu jalan raya besar dibuka, tempat ini pun pasti akan segera diperebutkan oleh manusia-manusia serakah. Apakah peri ini harus ku bawa pulang dan ku tempatkan pada pohon besar belakang rumahku? Pun kalau dia mau ku bawa pulang.
“Tenagaku terkuras habis untuk berlari kemari menghindarimu. Sudah berulang kali aku mencoba naik ke atas pohon ini untuk memulihkan tenagaku, beberapa jam lagi aku pasti mati bila tidak segera naik pohon ini” peri itu berkata dengan lirih.
“Aku bisa membantumu naik ke pohon ini?”
“Baik, aku percaya padamu. Angkat aku ke atas! Angkat tubuhku sampai menyentuh dahan pertama pohon ini!”
Aku mendekat perlahan. Pelan-pelan aku menyentuhnya, tubuhnya ku angkat. Terlihat lehernya yang putih halus, semakin ke bawah, dadanya menonjol indah sekali, ku sentuh kakinya yang mulus. Tiba-tiba perasaanku bergejolak aku tidak sanggup menahanya. Ku turunkan dia. Ku lucuti seluruh pakaiannya, dia lemas sekali tidak berdaya. Kami telanjang. Dia berontak, berteriak, menjerit, menangis memecah kesunyian hutan. Kami bergumul di bawah pohon itu. Tiba-tiba sesuatu terjadi, dia berubah. Suara jeritanya berubah menjadi suara babi kesakitan. Tubuhnya bergetar berubah menjadi babi betina. Aku hampir tidak percaya akan apa yang kualami, tapi aku tidak dapat berhenti nafsu birahiku sudah terlalu tinggi, tak tertahankan untuk berhenti.***